Matdon – Sinar Harapan Nopember 2012
Saya kurang berani mengatakan kondisi teater modern di Kota Bandung sedang unyu-unyu atau sedang absurd. Tetapi manakala bicara soal teater tradisi, saya berani mengatakan kondisinya sejak lama cukup memprihatinkan, wabilkhusus teater tradisi yang disebut Longser.
Longser merupakan genre teater tradisi Jawa Barat yang sudah ada sejak tahun 1915, diteretas dua seniman Bandung Aleh dan Karna – yang pada perkembangan selanjutnya dipopulerkan oleh Bang Tilil dan Ateng Jafar. Longser tumbuh subur pada periode 1940-1943 sebelum Jepang datang ke tanah air, bahkan menurut Ateng Jafar (alm) kelompok Longser saat itu mencapai 52 kelompok.
Kelompok Longser ini biasa main di hajatan nikah, khitanan, atau ngamen di beberapa tempat seperti stasiun Bandung, Braga, dan Tegalela. Mengalami masa vakum saat Jepang datang hingga tahun 1950-an. Lalu berairah kembali pada tahun 1951-1960-an. Puncak kejayaan Longser terutama Longser Pancawarna pimpinan Ateng Jafar pada tahun 1970 – 10980-an
Menyaksikan pertunjukan Longser, kita merasakan atmosfir masyarakat tatar Sunda yang terkenal dengan keramahan dan keakrabannya. Para pemain yang bersahaja, guyonan-guyonan yang mengandung gelak tawa, unsur-unsur musik etnis yang mengakrabkan suasana, keceriaan gerak tari tradisional merupakan daya tarik yang cukup menjanjikan dari tontonan tersebut.
Seperti pada pertunjukan Longser Bandoeng Mooi Senin malam lalu (29 Oktober 2012) di halaman Gedung Indonesia Menggugat (GIM) Jl.Perintis Kemerdekaan 5 Bandung, berjudul “Jurig Cikapundung” karya/sutradara Hermana HMT. Berkisah tentang penyakit yang mewabah penduduk di bantaran sungai Cikapundung seperti penyakit kulit, batuk dan asma. Penduduk setempat mengira penyakit itu akibat ulah jurig (hantu) yang menghuni sungai Cikapundung. Sehingga warga harus berobat dan mengadu pada dukun untuk mengusir jurig tersebut.
Upaya warga untuk sembuh tentu saja gagal, karena wabah penyakit tersebut bukan berasal dari jurih melainkan air sungai yang sudah tercemar akibat limbah pabrik, sampah dan kotoran manusia.
Longser Bandoeng Mooi adalah sebuah kelompok yang terdiri dari para seniman muda, berupaya memperjuangkan seni lokal yang sudah terposisikan diambang kepunahan dengan merevitalisasi dan melestarikan keberadaannya.
Dengan tidak menghilangkan unusr gerr sepanjang pertunjukan, Longser Bandoong Mooi membuat konsep pertunjukan terdiri dari Tatalu, sebuah tetabuhan yang dimulai sejak sebelum pertunjukan dimulai untuk mengumpulkan penonton. Usai Tatalu diiringi munculnya para pemain, dibacakannya rajah oleh sutradara, tarian dan dilanjut dengan cerita bobodoran dengan lakon Jurig Cikapundung.
Konsep pertunjukan itun tidak lepas dari sejarah Longser sejak pertama kali muncul, menurut sutradara Hermana, Bandoeng Mooi merasa peduli terhadap sejarah budaya bangsa ini mencoba mengupayakan pembinaan terhadap masyarakat luas khususnya generasi muda untuk lebih mencintai tradisi bangsa sendiri. Dengan langkah ini diharapkan terjalinnya gerakan peduli untuk pemeliharaan seni tradisi oleh lintas kalangan, maka konservasi seni tradisi yang diancam kepunahan diharap bisa terwujud kembali menjadi benteng dari intervensi budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa, selian itu cerita “Jurig Cukapundung” juga mengisyaratkan budaya bersih sesuai tradisi dan budaya sunda.
Merawat Tradisi
Perkembangan zaman telah menggeser kebutuhan dan minat masyarakat terhadap bentuk-bentuk kesenian, kita tak bisa mengelak keterlibatan informasi dan komunikasi yang mengatasnamakan peradaban dan kebudayaan. Sehingga kita masuk pada lorong waktu dan peristiwa nyaris tanpa batas. Kita masuk ke dalam arus, kecenderungan selera, dan tanda-tanda yang seragam. Bersama dengan itu kita, seperti merasa kehilangan identitas.
Pun terhadap seni pertunjukan yang makin modern dan industrial yang lebih canggih dari seni tradisi, maka jika para penggiat teater tidak mampu membaca pergeseran ini, Longser hanyalah sebuah ruang kosong yang telah ditinggalkan publiknya. Untung Bandoeng Mooi (komunitas seni pertunjukan yang berdiri 14 tahun lalu), masih menunjukan kecintaan dan kepedulian terhadap pekembangan seni longser dari acaman kehilangan identitasnya.
Komunitas yang didominasi kaum muda ini senantiasa mencoba menggali kekuatan longser dalam format yang lebih akrab dengan masyarakat kota Bandung. Proses demikian yang ada pada tubuh Longser, mangangkat isu-isu lokal atau global yang sedang hangat dibicarakan seperti masalah lingkungan hidup, kesehatan, pendidikan dan maslah moral social politik dalam bentuk kemasan yang bisa diterima oleh berbagai lapisan masyrakat, tidak profokatif, menghibur dan mendidik.
Memang membangun merawat tradaisi local serta kebudayaan secara umum mustahil dilakukan secara individual karena kebudayaan identik dengan kolektivitas dan bersama-sama. Seni rakyat yang hidup Jawa Barat merupakan bagian tak terpisahkan dari peradaban itu, yang jumlahnya ratusan, kini tak terhitung banyaknya yang telah punah dan terancam sirna. Seni tradisional adalah unsur kesenian yang menjadi bagian hidup masyarakat dalam suatu kaum.
Menghidupkan kembali Longser di tempat-tenpat keramaian merupakan sebuah upaya merawat tradisi itu.