Rabu, Oktober 9, 2024
spot_img

Mari Tertawa Bareng Longser Agustusan Lain Septemberan di Braga

Liputan6.com, Bandung – Sanggar Seni Bandoengmooi dan Ikatan alumni Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) menggelar seni teater tradisional khas Sunda bernama longser untuk memperingati hari kemerdekaan RI. Pertunjukan longser itu bertema ‘Agustusan Lain Septemberan’, di Gedung De Majestic, Jalan Braga, Bandung, Jawa Barat.

Tema ‘Agustusan Lain Septemberan’ arahan sutradara Hermana HMT itu, mencoba memaknai kemerdekaan dengan nuansa komikal khas kesundaan. Kesederhanan dan kelucuan para aktor Longser Bandongmmoi seperti Junjun, Koko Kudrat, Wawan Aldo, Dikdik dan yang lainnya, mengajak penonton untuk lebih rileks, penuh canda dan sindir menyindir.

Menurut Ketua Sanggar Seni Bandoengmooi Selamet Oki Pratomo, pemilihan Gedung De Majestic sebagai lokasi longser Agustusan untuk mengembalikan kewajiban utamanya sebagai layanan edukasi dan publikasi karya seni budaya.

“Fungsi utamanya adalah pemanfaatan aset kesenian (seni budaya) sebagai fasilitas pendidikan dan kebudayaan. Dalam upaya itu di tahun 2017 ini dalam satu minggu dua kali tiap hari Selasa dan Kamis senantisa menampilkan keanekaragaman seni budaya Jawa Barat,” kata Selamet dalam keterangan tertulis kepada Liputan6.com, Kamis, 24 Agustus 2017.

Selamet mengatakan, salah satu pendidikan tentang kebudayaan yang disuguhkan dalam longser Agustusan ialah perpaduan kelucuan para aktor longser yang tidak terpisahkan dengan unsur seni lainnya, terutama tari dan musik tradisional yang berkembang di Jawa Barat.

Selamet menjelaskan sejarah longser mulai muncul sekitar 1915, atas prakarsa dua orang seniman Bandung benama Aleh dan Karna. Kesenian ini selanjutnya dipopulerkan oleh dua tokoh besar longser, Bang Tilil dan Ateng Japar.

“Banyak cara bagi masyarakat Indonesia dalam memaknai hari kemerdekaan. Salah satunya dengan menyelenggarakan berbagai perlombaan, permainan yang sifatnya menghibur atau menampilkan aneka ragam kesenian,” ujar Selamet.

Dia menuturkan sebelum pendudukan Jepang, antara 1940 – 1943, seni Longser menurut mendiang Ateng Japar tumbuh subur. Selain kelompok Bang Tilil dan dirinya (Panca Warna), terdapat pula kelompok lain hingga mencapai 52 kelompok.

Pada pendudukan Jepang sampai tahun 50-an kata Selamet, seni longser vakum. Nasib serupa dialami sejumlah jenis kesenian lainnya. Situasi itu bukan karena tidak diminati lagi oleh masyarakat, tetapi akibat persoalan politik dan perekonomian Indonesia yang pada umumnya carut-marut.

“Baru sekitar tahun 50-an ke atas, gairah kesenian mulai tumbuh kembali. Ateng Japar dan kelompok Longser Pancawarna mulai lagi ngamen ke setiap kampung hingga mengalami puncak kejayaan sekitar tahun 1970 sampai dengan 1980-an,” kata Selamet.

Longser yang disuguhkan Bandoengmooi sendiri memiliki konsep dan inovasi tersendiri. Seni longser memiliki ciri yang cukup menarik karena sangat lentur sifatnya. Sifat itu terpancar karena lingkungan masyarakatnya, selalu berada dalam kondisi yang terus berubah.**

Sumber: Liputan6.com – Tahun 2017

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
3,913PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles