Makalah Pengantar Diskusi Pengembangan Strategi Keberlajutan Organsisasi 20-21 April 2024 – Perumusan Rencana Kerja Yayasan Kebuadayaan Bandoeng Mooi
Oleh Yoyo C. Durachman
A. Teater Tradisional
Pada dasarnya seni pertunjukan berangkat, berkembang, dan dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu, sehingga kesenian itu tidak pernah bisa dilepaskan dari masyarakat yang menyangga keberlangsungannya, oleh karenanya dalam lingkungan itulah akan tercipta suatu kesepakatan, baik yang meruntut pada bagian adat istiadat, maupun kebutuhan akan hiburan untuk tetap mempertahankan keseniannya sebagai bagian dari kehidupan mereka. Hal ini disitir juga oleh Edi Sedyawati dalam bukunya Pertumbuhan Seni Pertunjukan yang mengatakan, bahwa “Dalam lingkungan-lingkungan tertentu, adat atau kesepakatan bersama yang turun temurun mengenai perilaku, mempunyai wewenang yang amat besar untuk menentukan bangkit atau pun punahnya kesenian” (1981:52).
Kaitan antara kesenian dan kegiatan yang bertolak dari keperluan adat pada masyarakat tradisional sangatlah erat, karena pada mulanya kesenian tradisional di Indonesia hadir sebagai bentuk upacara, baik upacara keagamaan, maupun adat istiadat setempat. Seni pertunjukan, baik itu tarian, musik maupun drama, pada waktu itu merupakan media untuk menyatukan rasa takut, syukur dan keinginan untuk terhindar dari berbagai macam becana, sehingga kesenian sering menjadi pengemban kekuatan magis yang bisa menyelamatkan kehidupan manusia dan lingkungannya dan gangguan kekuatan supranatural. Oleh karena itu, dalam upaya menghindari bencana dan mencari keselamatan, maka dibuatlah berbagai sarana di antaranya berupa upacara-upacara.
Jika diklasifikasikan Jenis-jenis upacara tersebut di antaranya sebagai berikut:
1. Upacara pemujaan keagamaan. Untuk upacara semacam ini dapat dilihat pada pertunjukan yang dihadirkan di pura-pura dan candi.
2. Upacara menghayati nilai-nilai hidup dan kepercayaan Upacara semacam ini, terdapat pada teater wayang.
3. Upacara menanam dan menuai padi.
4 Upacara kelahiran, perkawinan dan kematian manusia, yang merupakan bagian dan siklus kehidupan.
5. Upacara menolak bala.
6. Upacara membuka hutan atau membuka daerah pemukiman baru.
7. Upacara dalam mencari atau bersatu dengan kekuatan gaib. Upacara semacam ini terdapat pada kesenian Debus, Sintrendan lain-lain.
8. Upacara dalam mendewasakan seseorang. Pada upacara semacam ini terdapat beberapa tahap perkembangan manusia yang berangkat dari bayi hingga menjadi orang dewasa (proses inisiasi).
9. Upacara untuk melakukan persiapan peperangan (kese nian Cakalele di Sulawesi dan Ambon).
Dengan adanya klasifikasi jenis-jenis upacara tersebut maka lahirlah bentuk-bentuk teater tradisional di Indonesia yang tersebar di berbagai daerah dengan beragam bentuknya, seperti
1. Makyong dan Mendu di Riau;
2. Randai dan Bakaba di Sumatera Barat,
3. Topeng Prembon, Topeng Arja, Topeng Cupak, Calon Arang dan lain-lainnya, di Bali;
4. Mamanda dan Papayungan di Kalimantan,
5. Sanreli, Pakarena, Kamberu dan Cakalele di Sulawesi,
6. Lenong, Longser, Wayang Golek, Angklung Bungko, Dogdog Lojor, Topeng Cirebon, Banjet, Ubrug, Topeng Cisalak, Debus, Sintren, Reak, Kuda Lumping, di Jakarta dan Jawa Barat;
7. Srundul, Emprak, Ketoprak, Encling, Angguk, Wayang Kulit, Wayang Orang, di Jawa Tengah, dan
8. Ludruk, Ketoprak, Topeng Malangan, Kentrung, Wayang Kulit serta Wayang Orang di Jawa Timur.
Dari berbagai jenis teater tradisional tersebut, menurut D.Djayakusumah seperti yang dikutip oleh Jakob Sumardjo, dibagi dalam dua bagian, yaitu “teater orang dan teater boneka” Kelompoknya pun dibagi dua, yaitu Teater Tradisional Rakyat dan Teater Tradisional Istana.
1. Teater Tradisional Rakyat
Teater Tradisional Rakyat adalah teater yang lahir dan berkembang di tengah-tengah masyarakat kecil di kampung atau desa-desa. Lahirnya Teater Tradisional Rakyat ini atas dasar kebutuhan masyarakat tersebut akan hiburan dan juga kebutuh an sebagai sarana untuk melakakukan upacara-upacara, balk upacara agama, maupun adat istiadat. Lambat laun dari kebutuhan upacara berubah fungsinya menjadi sarana hiburan saja, yang ditonton secara gratis oleh masyarakat. Oleh karena pertunjukan teater ini sudah menjadi bagian hiburat, maka biasanya ada yang menanggung pembiayaan pergelarannya yaitu masyarakat yang mempunyai hajatan.
Teater Tradisional Rakyat ini lahir dalam bentuknya yang amat sederhana dan penuh unsur spontanitas. Hal ini sesuai dengan budaya masyarakat pedesaan yang gayah dan tidak pemah menyembunyikan sesuatu di balik topeng kehidupannya semuanya tidak dibuat-buat Oleh karena itu, itu pada teater tradisional rakyat ini, penggunaan pola yang buku tidak begitu dipentingkan. Demikian pula mengenai tempat pementasannya pun tidak terpaku pada suatu tempat, malahan kebanyakan dilakukan di luar gedung, seperti di tanah lapang di kebun, pendopo, atau balai desa. Pementasannya biasa dilakukan dalam bentuk arena, di mana penonton menyaksikan pergelaran ha mengelilingi tempat pertunjukan, sehingga dalam pertunjukan ini akan nampak sekali keakraban antara penonton dengan pemain, karena jarak antara penonton dengan pemain atau pertunjukan hampir hampir tidak ada penantion dengan pemain bisa saling memberikan respon satu sama lain, hingga penonton pun merupakan bagian dari pertunjukan. Oleh karena itu, permainan dalam Teater Tradisional Rakyat ini benar-benar ditujukan untuk penonton. Apalagi unsur hiburannya begitu mendominasi, sehingga jika penonton merasa senang dengan tarian atau lawakannya, maka bagian itu akan diteruskan sampai penonton merasa puas, walaupun kadang-kadang akan memperpanjang lamanya pertunjukan. Namun demikian, karena para penonton ini kebanyakan adalah warga masyarakat pedesaan, yang tidak begitu terikat dengan waktu pekerjaan, maka hal itu tidak menjadi gangguan bagi mereka.
Para pendukung kehidupan Teater Tradisional Rakyat, kebanyakan rakyat biasa yang setiap harinya hidup dari bertani atau berdagang. Lambat laun di antara mereka ada yang mengembangkan dirinya melalui kesenian untuk mencari nafkah, sehingga kesenimanan bagi mereka merupakan profesi Teater Tradisional Rakyat ini mempunyai ciri-ciri khas yang terdiri atas:
(1) Pola cerita sangat sederhana dan tanpa menggunakan naskah tertulis. Adapun ceritanya kebanyakan bertitik tolak dari pe ristiwa sejarah, dongeng, mitologi yang cukup populer dan dikenal masyarakat, atau cerita yang bertolak dari kehidupan mereka sehari-hari yang merupakan refleksi masyarakat sekitarnya;
(2) Penyajiannya merupakan gabungan antara seri tari, musik dan drama. Kadang-kadang ada yang membumbui dengan akrobatik;
(3) Oleh Karena bersifat hiburan, maka unsurlawakan selalu
muncul kadang-kadang begitu dominan keberadaannya;
(4) Dalam penampilannya bersifat spontan dan kaya dengan improvisasi, terutama menyangkut seni perannya;
(5) Pertunjukannya tidak pernah terikat oleh jangka waktu, biasanya semalam suntuk;
(6) Nilai dramatik dilakukan secara spontan dan dalam satu adegan terdapat dua unsur emosi sekaligus, yakni sedih dan gembira;
(7) Tidak adanya jarak antara penonton dan pertunjukan sehingga penonton menjadi bagian dari pertunjukan;
(8) Pementasan tidak pernah terikat oleh tempat, bahkan kebanyakan mengambil ruangan terbuka di luar gedung, baru pada waktu sekarang ini pertunjukan di gedung, dan
(9) Iringan musik tradisional amat penting kedudukannya, di samping bahasa daerah yang dipakai dalam dialog antar pemainnya.
2. Teater Tradisional Istana
Teater Tradisional Istana adalah teater yang hidup dan berkembang di lingkungan kraton, di istana raja-raja. Keber adaannya ditunjang oleh empu-empu yang merupakan pembantu khusus raja dalam bidang kesenian. Mereka adalah tenaga- tenaga profesional, karena para empu digaji oleh raja sebagai pegawai dan aparat kerajaan. Mereka pun memiliki jabatan atau jenjang kepangkatan, sehingga dari sana hanya empu yang telah menduduki puncak kepangkatan saja yang dapat menciptakan karya seni yang bisa mewakili istana atau kerajaan. Mereka ini menciptakan karya seni, baik yang berkenaan dengan cerita, artistik, susunan karawitan, tarian dan lain sebagainya Semuanya itu disiapkan dengan baik dan matang agar bisa menghasilkan karya seni yang memiliki bobot estetis. Cara pementasannya diatur sedemikian rupa, agar nilai kualitas keindahan karya seni itu tetap terjaga, karena mereka tidak beranggapan bahwa karya seni itu hiburan semata. Meskipun mungkin sebuah karya seni itu bertujuan untuk menghibur atau sebagai pelengkap upacara adat istiadat, tapi mereka tetap berprinsip, bahwa suatu pementasan itu harus disiapkan terlebih dahulu, harus bagus, rapi dan indah.
Melihat kenyataan seperti itu, maka dapatlah dikatakan bahwa karya seni istana merupakan puncak karya seni yang telah menemukan bentuknya yang mapan, yang sukar untuk diubah atau diperbaiki, dalam tulisannya Jakob Sumardio menguraikan sebagai berikut: “yang paling baik, yang paling mulia dan paling luhur saja yang dapat diakui sebagai karya seni istana Apalagi kalau didasarkan kepada maksud drvosi religinya, maka pantaslah karya-karya seri demikian sering disebut adi luhung bukan saja karena mutu seninya, juga isi dan makna religiusnya (1992:23).
Dari uraian di atas, dapatlah dikatakan bahwa Teater Tradisional Istana merupakan teater yang sangat mementingkan kualitas artistiknya, dan untuk mencapai kepada tahapan ini dibentuk suatu standar pokok yang berupa pakem pakem atau konvensi yang harus dituruti dan ditaati oleh mereka yang ikut terlibat di dalamnya. Dari pembentukan konvensi ini. mengakibatkan orang-orang yang terlibat menekuni Teater Tradisional Istana harus mempunyai kemampuan berkesenian yang tinggi dan teruji
Secara umum Teater Tradisional Istana mempunyai ciri- ciri sebagai berikut:
(1) Ceritanya disuguhkan kepada penonton dengan memakai unsur-unsur tari, musik dan futur,
(2) Lewat suatu pengolahan seni yang matang dan dipersiapkan terlebih dahulu, sehingga tidak berbentuk improvisasi atau spontanitas; dan
(3) Menduduki tiga fungsi utama, yaitu sebagai upacara keaga- maan, sebagai pelengkap kebesaran seorang raja, dan sebagai hiburan yang menekankan kepada selera estetika yang tinggi.
Dengan pemaparan mengenai kedua kelompok teater tradisional di atas, maka dapat dilihat, bahwa perbedaan yang mencolok dari keduanya adalah terletak pada sifatnya. Teater Tradisional Rakyat lebih bersifat menghibur dengan teknik pengungkapan yang sederhana, sedangkan Teater Tradisional Istana bersifat menghibur dengan mengacu kepada kaidah kaidah estetika yang ketat serta bernilai tinggi.
Perbedaan kedua sifat ini dapat ditangkap dengan jelas karena memang ruang lingkup keberadaannya sangat berbeda pula. Teater Tradisional Rakyat dihidupi dan dikonsumsi oleh masyarakat yang menuntut kesederhanaan dalam menghadapi sebuah bentuk kesenian, karena bagi mereka kesenian berfungsi sebagai hiburan mami, sebagai pelepas duka lara dari himpitan hidup sehari-hari yang berat. Ini berbeda sekali dengan Teater Tradisional Rakyat yang secara sosiologis teater ini hidup di lingkungan masyarakat yang mencari nilai lebih dalam menghadapi sebuah bentuk kesenian. Kesenian tidak hanya dipandang sebagai hiburan belaka, tetapi sebagai ekspresi pribadi dan lebih jauhnya diperlakukan sebagai wahana untuk meninglantian dan menempa integritas diri.
Bagi individu atau masyarakat kalangan istana tertentu kesenian adalah media prestasi, harga diri serta citra diri pribadi terhadap keindahan. Oleh karena itu, mereka menempatkan kriteria yang kukah serta ketat bagi lahirnya sebuah kesenian dan kriteria ini dijaga keabsolutannya dari waktu ke waktu Kendatipun searah dengan perkembangan zaman, bentuk teater tradisional ini mau tidak mau harus mengalami perubahan juga Meskipun perubahan itu dilakukan, tetapi tidak meninggalkan esensial ataupun menurunkan nilai-nilai estetikanya. Akan vriği, dici perbedaan yang begitu ekstrim berdasarkan sifatnya. wecare haikiki, bulk Teater Tradisional Rakyat, maupun Teater Tradisional latana, terutama yang mempunyai unsur cerita, tidak isa melepaskan diri dari tari dan musik. Jadi pada hakekatnya ter tradisional Indonesia dari manapun asalnya dan di manapun ia hidup, unsur musikalitasnya sangat dominan Semikian pula dengan unsur ritusnya.
B. Teater Tradisional Jawa Barat
Seperti halnya daerah-daerah lainnya di Indonesia, Jawa Barat pun memiliki beberapa teater tradisional yang kebanyakan berasal dari rakyat. Sebagai contoh diantaranya: Ubrug dari daerah Banten, Topeng Banjet dari daerah Karawang, Topeng Cisalak dari Bogor, Uyeg dari Sukabumi, dan Longser dari kabupaten Bandung.
Namun demikian, dari keberagaman nama dan asal kehidupannya, secara umum teater tradisional di Jawa Barat ini mempunyai ciri-ciri yang khas antara lain:
(1) Tidak adanya naskah tertulis yang menjadi landasan dasar pementasannya, karena cerita yang akan dipentaskan biasa- nya sudah cukup dikenal, baik oleh pemainnya maupun penonton;
(2) Pemimpin kelompok kesenian itu biasanya menjadi penga- rah atau koordinator pementasan, bukan menjadi sutradara sebagaimana halnya dalam teater modern;
(3) Pemeranan atau pola laku pada pemain dibawakan dengan gaya improvisasi dan penuh semangat spontanitas. Dengan kata lain kedudukan improvisasi ini menjadi bagian yang sangat menonjol dalam pertunjukannya;
(4) Kedudukan tarian dan juga unsur musik tradisional amat berperan penting, sebagai bagian yang tidak bisa dilepaskan dari pertunjukan;
(5) Tema cerita yang dibawakan biasanya tidak jauh dari persoalan-persoalan yang melingkupi kehidupan mereka, di mana permasalahan yang berkisar pada kehidupan ru- mah tangga acapkali menjadi suguhan yang utama, teru- tama rumah tangga golongan keluarga menengah ke bawah,
(6) Tempat pertunjukan selalu mengambil ruangan terbuka, seperti tanah lapang, alun-alun, kebun, dengan penonton mengelilinginya. Dengan demikian, keadaan seperti itu bisa menimbulkan jalinan keakraban di antara pemain dengan penonton. Kondisi semacam itu membuka kemungkinan hilangnya jarak estetis, sehingga penonton bisa berpartisi- pasi secara langsung pada pertunjukan.
Adapun teater tradisional Jawa Barat yang mempunyai ciri-ciri seperti tersebut di atas antara lain:
1. Ubrug yang berasal dari daerah Banten.
Lakon yang sering disuguhkan dalam pentas Ubrug ini kebanyakan bersifat komedi dengan pola pemeran yang bersifat karikatural, sehingga ceritanya tidak begitu serius, dalam arti kurang dramatis, sedangkan bahasa yang dipakai dalam percakapan menggunakan bahasa Sunda dengan dialek Banten. Menurut Tisna Sopandi, ciri yang menjadi kekhasan teater Ubrug ini terletak pada:
1) Tokoh-tokoh pemain bahkan nayaga, semuanya meme- gang peran dan semua bertanggung jawab terhadap lancarnya pergelaran, tidak ada penonjolan tokoh
2) Penyelipan-penyelipan bodoran tidak diatur sedemikian rupa, melainkan di mana saja dan bersifat improvisasi.
3) Cara ganti pakaian dan berhias dilakukan di tempat Nayaga (terlihat oleh penonton).
2. Topeng Banjet dari Karawang
Pementasan Topeng Banjet ini hampir mirip dengan pe mentasan Topeng Betawi, terutama pada bagian pembukaan pementasannya yang ditandai dengan tarian Tandak Topeng (pada Topeng Benjet penarinya tidak menggunakan topeng, sedangkan pada Topeng Betawi menggunakan Topeng/kedok). Perbedaannya dengan Topeng Betawi tidak begitu mencolok, meskipun kadang- kadang bahasa yang dipakai dalam percakapan pemainnya pada Topeng Banjet banyak menggunakan bahasa Sunda.
3. Topeng Cisalak di daerah Bogor
Kesenian Topeng Cisalak ini meskipun berada di daerah Bogor tepatnya kecamatan Cimanggis, tetapi sudah banyak terpengaruh oleh kebudayaan Melayu Betawi. Perbedaan yang mencolok apabila dibandingkan dengan teater tradisional di daerah lainnya terletak pada kostum yang mempunyai kesan pengaruh Cina. Ciri-ciri Topeng Cisalak antara lain:
1) Pemainnya mempergunakan bahasa Melayu Betawi,
2) Penarinya memakai topeng (penutup muka/kedok);
3) Memiliki tokoh yang bernama si Jantuk, dan
4) Tarian serta musiknya dipengaruhi oleh kesenian Betawi.
Di samping jenis-jenis teater tradisional Jawa Barat yang telah diuraikan di atas, terdapat pula jenis-jenis kesenian lainnya seperti, Masres, Reog dan Tarling dari Cirebon, Topeng Tambun dari Bekasi, dan lain sebagainya.
Jika kita perhatikan secara seksama, pada dasarnya teater tradisional yang ada di Jawa Barat satu sama lain mempunyai banyak kesamaan idiomatiknya. Hal ini dimungkinkan karena semuanya hidup dan berakar pada satu budaya yang sama, yaitu budaya Sunda. Jika ada perbedaan biasanya terletak pada unsur idiom-idiomnya yang menyangkut ciri kedaerahan di mana teater itu berada. Perbedaan yang cukup mencolok hanya dari segi bahasa yang dipakai dalam pementasannya, karena tidak semua wilayah di Jawa Barat menggunakan bahasa Sunda. Akan tetapi ada yang terpengaruh bahasa Jawa dan juga bahasa Betawi Namun meskipun demikian, tidak berarti bahwa teater tradisional yang menggunakan bahasa Sunda secara murni tidak ada perbedaannya, hal itu tetap saja ada, yaitu adanya logat dan dialek yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Secara umum persamaan yang ada pada teater tradisional Jawa Barat terletak pada aspek bergabungnya unsur sastra dalam cerita, nyanyian dalam karawitan, dan gerak dalam tariannya, di mana semua unsur itu saling melengkapi satu sama lainnya. Di samping itu, pada teater tradisional kita bisa menemukan suatu susunan yang khas, yang menjadi milik dan bisa dikatakan seperti pakem. Di antaranya sebelum masuk pada bagian lakon atau cerita biasanya ada beberapa bagian lainnya yang harus dilewati dulu. Jika kita susun bagian-bagian yang ada pada teater tradisional meliputi sebagai berikut:
(1) Musik Pembuka (overture) yang lazim disebut dengan istilah tatalu. Maksud dihadirkan tatala ini untuk meng undang kehadiran penonton, bahwa sebagai tanda pem beritahuan pertunjukan akan dimulai,
(2) Setelah penonton datang, pementasan dibuka dengan lagu Kidung, yaitu lagu yang menyiratkan permohonan pada suatu kekuatan super-natural bahwa pementasan kan dimulai dengan harapan tidak akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam pelaksanaannya,
(3) Setelah Kidung selesai, biasanya dilanjutkan dengan beberapa tarian rakyat, dimana penarinya dipilih yang bisa mengundang perhatian penonton, sehingga pada bagian ini acapkali penonton melemparkan uang pada penari, bahkan ada yang meminta pada penonton Permintaan uang dari penonton ini biasa disebut dengan istilah nyarayuda,
(4) Selanjutnya masuklah pada bagian lawakan. Kadang- kadang pada bagian lawakan ini cukup menyita waktu, hal ini bergantung juga dari respon penonton,
(5) Setelah tahapan lawakan ini dilewati, maka dilanjutkan dengan bagian pertunjukan yang sebenarnya, yaitu bagian cerita. Setelah usai, ditutup lagi dengan lagu khusus sebagai penutup cerita (Kidung Pamungkas).
C. Kehidupan Teater Tradisional di Jawa Barat
Sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu dari tulisan ini, bahwa wujud kesenian itu akan terus mengalir mengikuti pola perkembangan masyarakat di mana kesenian tersebut berkembang dan berada. Hal ini disebabkan karena “kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan sesuatu masyarakat akan ikut bertahan atau ikut berubah mengikuti gerak kebudayaan induknya” (Selo Sumardjan, 1984:18). Maka kehidupan teater tradisional di Jawa Barat pun mengalami suatu gerak perubahan. Bagi yang bisa cepat beradaptasi dengan perubahan pola kehidupan masyarakatnya akan tetap hadir. Akan tetapi bagi yang tidak bisa mengikuti pola tersebut atau te- tap bertahan dengan kaidah yang dimiliki oleh kesenian tertentu secara dogmatis, maka lambat laun kesenian seperti itu akan punah. Hal itu disebabkan karena seni tradisional tidak bisa lagi memberikan kontribusi bagi masyarakatnya, terutama kebanyakan pada pilihan tema ceritanya yang tidak beranjak dari cerita-cerita yang lalu.
Pada masyarakat Jawa Barat yang kebanyakan bergerak dalam dunia pertanian (masyarakat agraris), dikenal beberapa kesenian yang memuja kehidupan pada Dewi Sri. Pada saat-saat setelah panen dilakukan, acapkali dilakukan upacara semacam Seba atau syukuran atas keberhasilan panenannya. Di sela-sela upacara syukuran itu seringkali ada kegiatan-kegiatan yang sifatnya hiburan sebagai gambaran atas keberhasilan pertaniannya. Maka munculah kesenian yang sifatnya hiburan. Dalam kegiatan ini masyarakat menghibur dirinya untuk sekedar melepaskan lelah dari segala persoalan yang dialami sehari- harinya. Sehingga pilihan materinya, terutama ceritanya, tidak begitu memikirkan hal-hal yang sulit untuk ditangkap oleh masyarakatnya. Teater tradisional ini, selain menduduki fungsi sebagai hiburan masyarakat pendukungnya, juga acapkali dipakai untuk media informasi atau penerangan oleh pihak- pihak yang membutuhkan.
Dari adanya suatu kebutuhan yang timbal balik antara seniman dan masyarakatnya, maka terjalinlah suatu ikatan emosi yang kuat di antara mereka. Di mana keduanya saling membutuhkan, penonton membutuhkan hiburan sedangkan pemain membutuhkan sumber penghasilan bagi penunjang kehidupan mereka. Sehingga pada waktu yang lampau teater tradisional ini pernah mengalami masa keemasannya, karena begitu banyak golongan masyarakat yang menyukai. Apalagi pada waktu itu di daerah pedesaan sarana untuk menghibur diri sangat kurang, jika tidak bisa dikatakan tidak ada.
Namun demikian, meskipun teater tradisional pada saat itu sangat digemari, tetap saja ada nada yang kurang baik dari sebagian masyarakat yang ditujukan pada pendukungnya. Sehingga para awak pentas teater tradisional sering disebut dengan istilah anak wayang atau kembang buruan, yang secara tidak langsung berkonotasi pada hal yang kurang baik.
Pada waktu itu, kehidupan awak pentas teater tradisional sepertinya hidup secara nomaden atau berkelana dari satu desa ke desa yang lainnya, untuk mencari tempat yang cocok untuk ngamen (mbebarang). Di samping mereka melakukan kegiatan ngamen atau mbebarang kadang-kadang ada juga yang mengundang mereka untuk main di perhelatan.
Namun demikian, seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan dalam berbagai bidang, secara tidak langsung membawa dampak yang kurang baik pada perkembangan kesenian tradisional ini. Apalagi peralihan generasi terjadi dengan begitu cepatnya, di mana kecenderungan masyarakat untuk menyekolahkan anaknya sampai tingkat perguruan tinggi sangat kuat, sementara di daerah pedesaan tidak ada sarananya, maka berbondong-bondonglah generasi muda pedesaan ke perkotaan.
Demikian pula era industrialisasi merasuki wilayah pedesaan di mana areal persawahan secara tidak terduga berubah menjadi pabrik dan sebagian besar masyarakat meninggalkan profesinya sebagai petani dan beralih menjadi buruh-buruh pabrik, faktor ini mengubah pula pola tingkah laku masyarakat tersebut terhadap kesenian tradisionalnya yang mereka anggap sekarang ini menjadi sesuatu yang kuno dan menyita waktu yang banyak, karena seperti kita ketahui pertunjukan teater tradisional kadang-kadang berlangsung semalam suntuk, dan ini sudah tidak bisa lagi diterima oleh para buruh yang kelelahan setelah seharian mereka bekerja keras di pabrik, atau tidak lagi menimbulkan minat bagi generasi mudanya yang sudah menjadi kaum terpelajar di kota besar, Maka sihir tontonan pun berubah mengikuti era perkembangan zaman melalui televisi, video, film, karaoke, musik pop, dangdut dan lain-lain. Apalagi hiburan yang disuguhkan dengan teknologi canggih ini betul-betul memberikan daya pukau yang luar biasa sekali, sehingga mereka kemudian menganggap bahwa teater tradisional tersebut tidak lagi memberikan kepuasan bagi diri mereka. Maka secara perlahan-lahan akhirnya kesenian tradisional itu tersisihkan dan diganti oleh kesenian lainnya.
Melihat kenyataan tersebut di atas, tidaklah mustahil jika ada beberapa jenis kesenian tradisional khususnya teater tradisionalnya yang lenyap dan musnah tanpa sempat di kenal terlebih dahulu oleh masyarakat luas. Bahkan kini kita sangat sulit untuk mengapresiasi teater tradisional, seperti Ogel atau Reog, Ubrug, Uyeg, bahkan Longser itu sendiri.
D. Longser Sebagai Teater Tradisional Jawa Barat
Teater Tradisional Rakyat yang kemungkinan hampir punah di daerah Jawa Barat ini, khususnya di kawasan Bandung Raya, adalah Longser. Karena dari kurun waktu yang berkembang selama ini tinggalah satu-satunya kelompok Longser yang masih bertahan. Itu pun nampaknya karena pimpinannya, pada saat itu masih hidup, sebab jika pimpinannya sudah tidak ada lagi, kesenian ini akan turut punah. Hal ini dimungkinkan meskipun, telah dilakukan proses kaderisasi, namun ada hal lain yang lebih penting untuk menentukan berjalan tidaknya suatu kesenian, yaitu filosofi memandang dunia kesenian itu sendiri. Pandangan filosofis seorang Ateng Japar tidak akan berbeda jauh dengan pandangan bapaknya, ketika mewariskan kesenian Longser itu. Akan tetapi, tidak demikian dengan pandangan filosofis anak dan cucu Ateng Japar sendiri terhadap Longser, apalagi mereka mempunyai pekerjaan tetap yang bisa memberikan tunjangan bagi kelangsungan hidup mereka. mereka. Sedangkan Ateng Japar betul-betul hidup dari keseniannya, dan dari situlah ia bisa memberikan andil bagi anaknya, di samping kecintaannya yang teramat besar terhadap Longser itu sendiri.
Maka tanggungjawab keberlangsungan suatu teater tradisional selain berada di tangan pendukungnya, juga masyarakat yang masih menaruh perhatian pada kesenian tradisional itu perlu dirangsang, dan lembaga pendidikan seni, sudah selayaknya memberikan perhatian yang baik, minimal mem- berikan rangsangan pada mahasiswanya untuk ikut mengembangkan, dalam arti memberikan suatu tafsiran baru terhadap teater Longser ini, yang sekiranya memiliki relevansi dengan kehidupan zaman sekarang.
Berbicara mengenai Longser, maka secara tidak langsung harus mengetahui tentang asal mulanya kesenian ini, baik yang menyangkut asal kata, maupun kelahirannya. Untuk itu perlu dipahami, bahwa dalam kebudayaan Sunda banyak istilah, entah itu menunjuk jenis makanan ataupun yang lainnya, menggunakan kirata yang artinya ungkapan arti suatu kata. Maka menurut kirata, Longser itu terdiri dari dua kata, yaitu ‘long’ yang merupakan kependekan dari kata melong (memandang) dan ser yaitu suatu perasaan senang atau gairah cinta jika tertarik pada lawan jenis. Jadi Jika di-kirata-kan Longser itu adalah suatu perasaan tertarik terhadap lawan jenis yang disebabkan pandangan. Hal ini diperkuat oleh Ateng Japar yang mengatakan, bahwa “Pada waktu dulu ketika pementasan Longser dilakukan, seringkali banyak kaum laki-laki ataupun perempuan yang merasa tertarik pada para pemainnya”. Bahkan “pada waktu dulu Ateng mempunyai istri atau kawin lebih dari empat kali salah satu di antaranya adalah seorang sari administrasi perkebunan teh, orang Belanda, yang mengejar ngejar dirinya Namun demikian, menurut Yahya Ganda yang dimaksud dengan Langseer its “barang siapa yang melihat atata menonton Languer hatinya akan tergugah, mengingat mempunyai maksud dan tujuan” (periksa Yinyo C. Darachman, dik, 1992:33)
Kemungkinan lain, kata Langer itu bisa saja terjadi dari kata “lenger” yang artinya centil atau genit, ini lebih ditujukan pada menggeng-nya Yang pertama kali memperkenalkan kata Langser adalah Bang Tilid kira-kira pada tahun 1915, ketika kesenian Deger dan Ketuk Tilu mulai tidak disukai masyarakatnya, yang kemudian Longser menggentikan kedudukan kesenian tersebut. Nilai tambah Longser disandingkan dengan kedua kesenian tersebut, terletak pada hadirnya bodoran lawakan sebagai bagian penyegarnya. Pada dasarnya pertunjukan Langser memiliki ciri yang berupa adanya, tarian-bodoran dan lakon/cerita. Pada unsur tarian yang mendominasi adalah bentuk tari rakyat, seperti Ketuk Tilu Cikeruhan, Pencak Silat, dan ada tari yang khusus dengan sebutan tari Uyeg atau lebih dikenal dengan istilah Keplok Cendol. Adapun bagian badoran ada yang khusus, artinya tidak termasuk dalam cerita seperti rebutan penari oleh dua orang bodor, adegan berpotret, atau juga adegan rayuan antara penari perempuan dengan bodor, di mana polanya dengan kanaifan atau seperti kanak-kanak contohnya: sang laki-laki mencolek dagu penari Perempuan sambil mengucapkan kata-kata “oen adona” lalu perepun oleh penari tadi dengan gerak dan kata-kata yang sama, dan dilanjutkan dengan mencolek anggota tubuh yang lainnya, dan seterusnya. Disamping kehadiran bodoran dalam adegan yang khusus di luar cerita, maka ada juga bodoran yang terselip dalam cerita. Akan tetapi, secara keseluruhan kehadiran bodoran ini mendominasi seluruh pertunjukan Longser Sebagai bagian terakhir dari ciri Longser, yaitu hadirnya lakon yang biasanya diangkat dari kehidupan sehari-hari masyarakat di pedesaan.**