Rabu, Oktober 9, 2024
spot_img

Nyai Mastiti dan Cara Longser Dekati Generasi Muda

Pojok Seni – Longser, salah satu bentuk teater tradisional rakyat Jawa Barat, saat ini sedang di ujung tanduk, setelah sempat jaya di era tahun 1970 – 1980-an. Bandoengmooi, grup longser di Bandung berdiri sejak tahun 1996, ketika kejayaan longser masih cukup kuat mengakar di masyarakat Sunda. Berbagai kemajuan dan teknologi ternyata berpengaruh langsung pada kehidupan longser, seakan menjadikan longser seperti lampu redup yang menunggu waktu untuk padam.

Bandoengmooi adalah salah satu dari grup Longser yang tetap berjuang untuk hidup dalam kondisi serba sulit bagi seni tradisi, di tengah kurungan modernisasi dan teknologi. Jumat malam, 10 Maret 2023 di Gedung Dewi Asri, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung,  grup longser ini menghantar pertunjukan bertajuk Nyai Mastiti pada publiknya. 

Sebagai bentuk teater tradisi, longser memiliki satu penciri yang sangat mirip dengan teater tradisi lainnya seperti lenong, ludruk, dan ketoprak. Penciri tersebut adalah improvisasi aktor menjadi pemegang plot cerita. Kebebasan dialog, tanpa didasari teks menjadi ciri sekaligus kekuatan dari pertunjukan longser. Ditambah lagi, keterlibatan penonton menjadi hal yang menjadi penciri lain pertunjukan teater ini. Tidak terhitung jumlah penonton yang ditarik oleh para aktor untuk naik ke atas panggung, meski tidak mengubah atau mengganggu alur cerita yang dibawakan.

Jalan Cerita

Adalah Nyai Mastiti, seorang perempuan yang terkenal dengan kecantikannya, anak seorang mandor yang bekerja di kebun kopi milik tuan tanah dari Belanda. Dua orang jawara dari daerah tersebut jatuh cinta pada Nyai Mastiti, namun Nyai Mastiti diketahui sudah memiliki pasangan yakni Jajang, seorang jawara dari kampung sebelah.

Perselisihan antara jawara itu terjadi karena memperebutkan Nyai Mastiti. Namun pada akhirnya, tuan tanah Belanda yang mengawini Nyai Mastiti dengan menjanjikan jabatan pada ayah Mastiti. Pernikahan karena terpaksa itu menghancurkan hati Jajang.

Namun, dendam dua jawara yang selalu kalah ketika bertarung dengan Jajang masih belum selesai. Mereka menghasut tuan Belanda, bahwa Jajang harus segera dibunuh. Apalagi, beberapa waktu terakhir kebun kopi milik tuan Belanda sering terjadi kemalingan biji kopi. Bahkan, gudang penyimpanan kopi juga terbakar. Jajang dianggap sebagai pelaku dari semua kejadian tersebut.

Pertarungan dua jawara bersama tuan tanah Belanda melawan Jajang seorang diri segera terjadi. Tuan Belanda memiliki senjata api, dengan mudah mengakhiri nyawa Jajang. Hal itu membuat Nyai Mastiti kecewa, dan memilih kabur meninggalkan tuan Belanda.

Gerr Sejak Adegan Pertama

Longser memang ditujukan untuk mengocok perut pemirsanya. Pendiri mazhab Hegelian, Georg Wilhelm Friedrich Hegel, sempat menyebutkan bahwa komedi merupakan salah satu puncak dari seni pertunjukan. Sebab, komedi menghadirkan manusia dengan sejujurnya, dengan kesehariannya, lingkungan sosialnya, serta kearifan lokalnya. Dan gelak tawa, seakan menjadi letupan yang memangkas jarak antara pemain dengan penontonnya. Meminjam terminologi Hegel, komedi menghadirkan fenomenologi roh yang mampu mewujudkan komunikasi secara sadar antara seniman dengan pemirsanya lewat medium pertunjukan, dialog, dan bahasa.

Seni yang hidup, menjadikan adanya peretasan dan jalan pintas yang mempertemukan langsung seniman dengan pemirsanya dari perasaan ke perasaan. Penonton akan merasa tetap berada di tempat dan waktu yang sama dengan para pemain, meski setting yang direncanakan sutradara pertunjukan berada di zaman Belanda.

Dalam berbagai perspektif, pertunjukan Nyai Mastiti oleh Bandungmooi jelas memberikan apa yang dibutuhkan oleh penonton; hiburan. Tidak mudah membawakan komedi improvisasi, meski cenderung slapstik, namun tetap “gerr” sepanjang durasi. Sutradara mesti tetap jeli memperhatikan dan menjaga plot cerita, agar improvisasi setiap pemain masih tetap “berputar di sumbunya”.

Bila misi utama pertunjukan ini adalah mengenalkan kembali longser pada generasi muda, maka pertunjukan Nyai Mastiti bisa dikatakan berhasil melakukannya. Aktor yang rata-rata masih berusia muda mengetahui dengan jelas apa yang diperlukan untuk merebut hati penonton berusia muda, mulai dari bicara tentang game online, tiktok, dan hal-hal lain yang cukup viral di kalangan anak muda.

Satu-satunya aktor yang berusia tidak muda lagi adalah seorang kakek yang secara mengejutkan memerankan Nyai Mastiti. Yah, ini juga bagian yang dipersiapkan untuk “gerr“, ketika Nyai Mastiti yang diceritakan sangat cantik jelita, justru diperankan oleh seorang laki-laki yang sudah berumur.

Beberapa Catatan Minus

Tentunya, memandang pertunjukan longser tidak bisa menggunakan kacamata teater modern. Sebagai teater tradisional, longser mengandalkan penuh kemampuan improvisasi pemainnya, gerak-gerak karikatural, dan sejumlah gimmick di setiap spektakelnya untuk menghadirkan lelucon demi lelucon. Alur cerita terkesan tidak masuk akal serta melompat ke sana-kemari, justru menjadikan longser memiliki keunikan sendiri. Pemainnya tidak keluar panggung, mereka duduk berjejer di depan pemusik. Mereka tetap “ikut” dalam permainan meski berada di posisi itu.

Meski Bandoengmooi masih bertahan dengan pakem longser, namun pertunjukan tersebut masih mampu menghibur penonton yang kebanyakan berusia muda. Hanya saja, akan jauh lebih memikat dan menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu, apabila longser memilih untuk menerobos pakem, dan mulai memanfaatkan kemajuan teknologi untuk mendukung pertunjukan mereka. 

Lampu yang general sejak awal pertunjukan, mungkin bisa dipertimbangkan untuk dimanfaatkan secara maksimal agar memberi perbedaan secara visual. Mengingat, longser tidak banyak membawa furnitur artistik, hand-property, dan lain-lain. Apalagi, Bandungmooi sudah mencoba dengan menghadirkan alat-alat musik tambahan modern ke deretan alat musik tradisional bagi para pemusik.

Satu hal yang cukup jadi catatan, di luar hal teknis, agak mengejutkan ketika seorang calon walikota datang ke atas panggung dan seakan diberi ruang untuk berkampanye. Apalagi, para aktor juga seakan memberikan “jasa kampanye” gratis bagi calon walikota tersebut. Tentu saja, hal tersebut bukan hanya kurang etis untuk dilakukan di sebuah pertunjukan yang “bukan didesain untuk kampanye”, apalagi dilakukan di sebuah kampus.

Kesimpulan

Longser sebagai salah satu teater tradisional rakyat di Jawa Barat, semestinya masih harus tetap hidup. Apalagi, di Jawa Barat memiliki kampus seni, ISBI Bandung. Bentuk-bentuk teater tradisional mesti mendapatkan perhatian khusus agar tetap memiliki generasi penerus.

Namun, untuk mewujudkan hal tersebut, ada banyak “pakem” longser bisa dinegosiasi dan dikembangkan sesuai perkembangan zaman. Hal ini bisa menjadikan longser sebagai salah satu tontonan yang digemari anak muda hari ini, apalagi longser cenderung menjadi tontonan yang ringan dan bisa melepas penat penonton.

Cerita yang diusung akan lebih cocok bila disesuaikan pula dengan generasi hari ini. Menurut Pojok Seni, cara terbaik untuk mendekatkan seni tradisi ke publik milenial adalah “mengalah” dan mendekatkan diri pada mereka. Terpenting, longser mesti tetap pada martabatnya sebagai tontonan yang bisa menghibur di satu sisi, juga sebagai tuntunan yang bisa mencerahkan di sisi yang lain.

Sumber : pojokseni.com – Tahun 2023

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
3,913PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles