Tembang Panineungan adalah Kisah pilu Jugun Ianfu, korban kekerasa seksual terhadap perempuan di Kota Cimahi pada masa penjajahan Jepang di Indonesia tahun 1942-1945 yang diangkat dalam pertunjukan teater daerah berbahasa Sunda.
Masa penjajahan Jepang adalah sejarah kekejaman Perang Dunia II di Asia, termasuk di Indonesia. Pada waktu itu tentara Jepang di Kota Cimahi bukan saja menahan tentara Hindia Belanda dan penduduk pribumi yang dianggap membangkang di kamp konsentari dan tanamkan kerja paksa (romusa), juga melakukan penculikan terhadap perempun yang masih muda belia dan dijadikan budak sek para tetara Jepang.
sejarah bermula dari Perjajian Kalijati, Subang, Jawa Barat 8 Meret 1942 dengan keputusan bahwa Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Sejak saat itu wilayah Nusantara (Indonesia) yang semula berada dalam genggaman Pemerintah Belanda beralih kekuasaan ketangan militer Jepang.
Demi menarik simpaktik rakyat Indonesia, Jepang melakukan aksi-aksi propaganda dengan gerakan 3A, yaitu Nippon Pemimpin Asia, Nippon Pelindung Asia dan Nippon Cahaya Asia. Namun nyatanya, Jepang membuat rakyat Indonesia makin menderita, selain mengeruk kekayaan alam untuk meningkatkan perekonomian negaranya dan modal perang melawan Sekutu pada Perang Dunia ke 2, Jepang menerapkan kerja paksa romusha dan jugun ianfu.
Jugun ianfu merupakan perbudakan sek yang dilakukan Pemerintah Jepang dalam memberi hiburan bagi tentaranya untuk meningkatkan kenerja mereka. Dalam hal itu Jepang membangun tempat hiburan dan menempatkan jugun ianfu di sana, termasuk di pusat militer Cimahi.
Para Jugun ianfu tiap hari bekerja tidak pernah dapat upah, bahkan sering mendapatkan perlakuaan kasar dan tidak manusiawi. Jika ada yang hamil, mereka dipaksa menggugurkan kandungannya. Sehingga tidak sedikit diantara mereka yang mederita sakit secara fisik, mental, hingga meninggal dunia.
Tahun 1945 Jepang kalah perang melawan sekutu. Jepang menyerah dan angkat kaki meninggalkan tanah Indonesia. Lantas para jugun ianfu pun dilepaskan, bahkan ditelantarkan dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Lepas dari genggaman dan kebengisan tentara Jepang, mereka harus behadapan dengan berbagai cibiran dari masyarakat yang menganggap bekas pelacur Jepang. Dalam kehidupan sosial sacara sadar atau tidak sadar mereka dapat hukuman dengan dimarjinalkan.**